Berkaitan dengan Pro-kontra Keistimewaan Jogja,
Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, mengenakan surjan (baju adat Jawa) dan blangkon hitam, menghormat kepada sang saka merah putih. Lalu ia melangkah menuju tiang bendera dan menggapai tali putih penarik bendera tersebut.
Bendera yang terbentang tinggi di halaman rumahnya,
Golo, Umbulharjo, Yogyakarta, Minggu (12/12/2010), itu pun ia turunkan setengah tiang. "Keistimewaan Yogyakarta adalah bagian sejarah berkibarnya Merah Putih. Jangan lukai Merah Putih," pungkasnya.
Golo, Umbulharjo, Yogyakarta, Minggu (12/12/2010), itu pun ia turunkan setengah tiang. "Keistimewaan Yogyakarta adalah bagian sejarah berkibarnya Merah Putih. Jangan lukai Merah Putih," pungkasnya.
Secarik kertas ia keluarkan dari saku surjannya. "65 tahun Bendera Merah Putih berkibar di Bumi Indonesia. 65 tahun semangat Merah Putih berkibar di hati sanubari Bangsa Indonesia," katanya lirih, mengawali puisi yang dibaca di depan bendera yang berkibar setengah tiang itu.
Aksi ini sebagai wujud keprihatinannya atas masalah yang saat ini sedang terjadi di Yogyakarta. Bendera Merah Putih sebagai lambang bangsa, terluka oleh berbagai masalah yang melanda. Untuk itu, ujarnya, jangan lukai Merah Putih.
Herry ingin memaknai sejarah Merah Putih dengan kearifan lokal. Ia ingin memaknai amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII pada 5 September 1945 dengan kearifan hati Merah Putih.
"Maknailah pula keistimewaan Yogyakarta dengan kearifan hati Merah Putih. Dengarkan aspirasi Yogyakarta, suarakanlah aspirasi Yogyakarta dengan Merah Putih," tuturnya dengan suara lantang.
Menurutnya, sejarah adalah garis waktu yang hakiki, tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan perspektif regulasi dan politik. Amanat 5 September 1945 adalah sejarah berkibarnya Merah Putih.
Begitu menurut Kompas.com Minggu, 12 Desember 2010 | 16:21 berdasarkan laporan Wartawan Tribun Jogja Sigit Widya Wahyu Jati K.
salam kenal,Sastro
ReplyDeleteini kunjungan balik bunda :)
duh, bunda gak ngerti masalah politik begini.
mungkin saja SBY takut dengan masuknya Sri Sultan pd salah satu Partai , Nasional Demokrat itu ya ?
wis lah, kok komennya bunda ngasal gini sih ? :(
salam
Hehe, saya juga gak tahu kok bun, cuman melansir berita yang lagi hangat. trims
ReplyDeleteAku bingung, emangnya keistimewaan DIY hanya soal penunjukan Gubernur saja to. Kan banyak aspek lainnya yang perlu diangkat
ReplyDeletekemaren ikut rapat sidang gak mas bro?
ReplyDeletesalam kenal dari blogger jogja
@bundadontworry : terima kasih disambangi.
ReplyDelete@blogger jogja : ikut rapat dirumah lewat tv mas, mau ke malioboro takut semaput, orangnya berjubel.
terima kasih ditengok
Wah, menurunkan bendera merah putih setengah tiang saya gak berani jika bukan instruksi pemerintah
ReplyDeleteTapi ini adalah sebuah sikap seorang kawulo Jogja yang kebetulan dia walikota.
Harapan saya sih Jogja ya Jogja. Dan Sultan serta Paku alam tetap gak ikut2an partai politik. :)
Betul juga mas cucu, kalau nantinya penetapan, mestinya beliau2 ini tidak berpartai supaya bisa mengayomi masyarakat Jogja yang heterogen. Nggak ada lagi kecondongan kepentingan (disengaja atau tidak) ke unsur, golongan, partai atau apapun.
ReplyDeleteYang ada hanya bagaimana mensejahterakan orang Jogja seluruhnya. gitu loh
coba menanggapi polemik "istimewa jogja",hemat aku Jogjakarta tetap saja diberikan "keistimewaannya" dg penambahan undang2 baru,dan pembaharuan tdk adanya parpol ataupun legislatif di jogja.Hal ini lebih efektif dan tidak akan bermasalah lagi kedepanya karena budaya yg berkembang di masyarakat memang menghendaki Sultan sbg pemegang kekuasaan tertinggi.
ReplyDeletesalam kenal, blognya magus
ReplyDelete